Hadis tentang Jual Beli dan Riba
Nama :
Siti Yuraida Zumaroh
NIM :
931320616
Program Studi :
Ekonomi Syari’ah
Kelas :
E
Mata Kuliah :
Hadis Ekonomi
Pertemuan Kedua : Hadits Tentang Jual Beli dan Riba
A.
Pengertian Jual Beli
Jual beli atau dalam bahasa
arab al-bai’ menurut etimologi
adalah :
مُقَا
بَلَةُ شَيْءٍ بِشَيْءٍ
“Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain.”
Jual beli
menurut bahasa adalah tukar-menukar apa saja, baik antara barang dengan barang,
barang dengan uang, uang dengan uang.[1]
B.
Syarat-Syarat Jual Beli
Ada empat syarat yang harus dipenuhi
dalam akad jual beli, yaitu
1.
Syarat
in’iqat (terjadinya akad)
2.
Syarat
sahnya jual beli
3.
Syarat
kelangsungan jual beli (syarat nafadz)
4.
Syarat
mengikat (syarat luzum)
Maksud
diadakannya syarat-syarat ini adalah untuk mencegah terjadinya perselisihan
diantara manusia, menjaga kemaslahatan pihak-pihak yang melakukan akad, dan
menghilangkan sifat gharar (penipuan). [2]
C.
Syarat Sah Jual Beli
Syarat sah jual beli terbagi menjadi
dua bagian, yaitu syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum adalah syarat yang
harus ada pada setiap jenis jual beli agar jual beli tersebut dianggap sah
menurut syara’. Secara global akad jual beli harus terhindar dari enam macam
aib:
1.
Ketidakjelasan
2.
Pemaksaan
3.
Pembatasan
dengan waktu
4.
Penipuan
5.
Kemudaratan
6.
Syarat-syarat
yang merusak
D.
Rukun Jual Beli
Rukun jual beli terdiri atas tiga
macam:
1.
Akad
Jual beli belum dapat dikatakan sah sebelum ijab kabul dilakukan.
Hal ini karena ijab kabul menunjukkan kerelaan kedua belah pihak kerelaan kedua
belah pihak. Pada dasarnya ijab kabul itu harus dilakukan dengan lisan. Akan
tetapi, kalau tidak mungkin, misalnya karena bisu, jauhnya barang yang dibeli,
atau penjualnya jauh boleh dengan perantaraan surat-menyurat yang mengandung
arti ijab kabul itu. Hadis Rasululloh SAW menyatakan:
عَنْ
أَبِىْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: لاَيَغْتَرِقَنَّ
إِتَنَا نِ إِلاَّ عَنْ تَرَاضٍ.
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r,a, dan Nabi
SAW, beliau bersabda, “dua orang yang berjual beli belumlah boleh berpisah,
sebelum mereka berkerelaan.” (H.R.
Abu Dawud dan Tirmizi)
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan
dari Abu Said r.a. disebutkan:
قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ.
Artinya:
Rasululloh SAW, telah bersabda,
“jual beli baru dianggap sah kalau sudah berkerelaan.”(H.R. Ibnu Hibban dan Ibnu
Majah)
Hakikat jual beli yang sebenarnya
ialah tukar menukar yang timbul dari kerelaan harus diketahui dengan qorimah
(tanda-tanda), yang sebagiannya ialah dengan ijab kabul. Syarat sah ijab kabul:
a.
Tidak
ada yang membatasi (memisahkan).si pembeli tidak boleh diam saja setelah si
penjual menyatakan ijab, atau sebaliknya.
b.
Tidak
diselingi oleh kata-kata lain.
c.
Tidak
dita’likan.
d. Tidak
dibatasi waktunya. Umpamanya, “Aku jual barang ini kepadamu untuk sebulan
saja”, dan lain-lain.
Jual beli
seperti ini tidak sah sebab suatu barang yang sudah dijual menjadi hak milik
bagi si pembeli untuk selama-lamanya, dan sipenjual tidak berkuasa lagi atas
barang itu.
2.
Orang
yang berakad
Bagi orang yang berakad diperlakukan beberapa syarat.
a.
Balig
(berakal) agar tidak mudah ditipu orang. Tidak sah akad anak kecil, orang gila,
atau orang bodoh sebab mereka bukan ahli tasarruf (pandai mengendalikan harta).
b. Beragama
islam. Syarat ini hanya tertentu untuk pembelian saja, bukan untuk penjual,
yaitu kalau di dalam sesuatu yang dibeli tertulis firman Alloh walaupun satu
ayat, seperti membeli kitab Al-Qur’an atau kitab-kitab hadis Nabi. Begitu juga
kalau yang dibeli adalah budak yang beragama islam dan kaum muslimun sebab
mereka berhak berbuat apa pun pada sesuatu yang sudah dibelinya.
c.
Barang
yang diperjualbelikan (Ma’kud Alaihi)
Syarat barang yang diperjualbelikan
adalah sebagai berikut :
1)
Suci
atau mungkin disucikan. Tidaklah sah menjual barang yang najis, seperti anjing,
babi, dan lain-lainnya. Dalam sebuah hadis disebutkan:
عَنْ
جَا بِرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسلَّمَ عَنِ اْلمُحَا قَلَةِ
وَالْمُحَا
قَلَةِ وَلمُخَا ضَرَةِ وَالْمُخَا ضَرَةِ وَلْمُلاَ مَسَةِ وَالْمُنَا بذَ ةِ
وَالْمُزَابَنضةِ .
Artinya:
“Dari Jabir r.a. bahwa Rasululloh
SAW. Besabda, sesunggunya Alloh dan Rasul telah mengharumkan jual-beli arak,
bangkai, babi, dan berhala.” (H.R.Bukhari
dan Muslim)
2)
Memberi
manfaat menurut syara. Tidaklah sah memperjualbelikan jangkrik, ular, semut,
atau binatang buas. Harimau, buaya dan ular boleh dijual kalau hemdak diambil
kulitnya untuk disamak, dijadikan sepatu, dan lain-lain, namun tidak sah bila
digunakan untuk permainan karena menurut syara’ tidak ada manfaatnya. Begitu
juga alat-alat permainan yang meninggalkan kewajiban kepada Alloh .
3) Dapat
diserahkan secara cepat atau lambat. Tidaklah sah menjual binatang-binatang
yang sudah lari dan tidak dapat ditangkap lagi, atau barang-barang yang hilang,
atau barang yang sulit dihasilkannya.
4)
Milik
sendiri. Tidaklah sah menjual barang orang lain tanpa seizin pemiliknya atau
menjual barang yang hendak menjadi milik.
5) Diketahui
(dilihat). Barang yang diperjualbelikan itu harus diketahui banyak, berat atau
jenisnya. Tidaklah sah jual beli yang menimbulkan keraguan salah satu pihak
E.
Jual Beli Yang Terlarang Dan Tidak Sah
Barang-barang yang dilarang
diperjualbelikan serta membatalkan ijab kabul adalah sebagai berikut:
1.
Barang
yang dihukumi najis oleh agama, umpamanya anjing, babi dan sebagainya.
2. Bibit
(mami) binatang ternak, dengan cara meminjamkannya untuk mengambil
keturunannya. Jual beli itu itu batal kkarena ukuran barangnya tidak kelihatan.
3. Anak
binatang yang akan dikandung oleh anak yang masih di dalam kandungan induknya.
Dilarang memperjualbelikannya karena barang yang diperjualbelikan itu belum
ada.
4.
Bi
Muhaqalah, yaitu menjual tanam-tanaman yang masih diladang atau disawah dengan
tamar (gandum) secara katian.hal ini karena mahaqalah berasal dari haqalah yang
berarti tanah,sawah, atau kebun. Ini dilarang oleh agama karena mengandung
unsur riba di dalamnya sebab tidak diketahui persamaanya.
5. Bi
Mukhadarah, yaitu jual-beli buah-buahan sebelum nyata baiknya dipetik, atau
dinamakan jual-beli buah biji muda atau ijon. Hal ini dilarang karena belum
jelas hasilnya, kecuali kalau sudah nyata dan dapat diambil manfaatnya.
6. Bi
Mulamasah, yaitu jual beli secara sentuhan. Seorang seseorang menyentuh suatu
barang, umpamanya, dengan tangannya di waktu malam atau siang,tanpa membalikkan
atau mengembangkannya. Bila barang itu tersentuh, terjadilah jual beli. Hal ini
dilarang karena mengandung tipuan dan mungkin merugikan salah satu pihak.
7.
Bi
Muzabah, yaitu jual beli secara lemparan.
8.
Bi
Muzanabah, menjual buah yang basah dengan buah yang kering.
Hadis Rasululloh menyatakan yang
artinya :
“Dari Anas r.a. ia berkata,
“Rasululloh SAW telah melarang melakukan mahaqalah, mukhadarah, mulamasah,
munabazah, dan muzanabah.”
9.
Menentukan
dua harga untuk satu barang yang diperjualbelikan.
10.
Penjualan
bersyarat
11.
Bi
gurur (jual beli yang sudah jelas mengandung tipuan), seperti menjual ikan di
dalam air (kolam) atau menjual barang yang dari luarnya kelihatan baik, tetapi
di dalamnya buruk, dan yang sejenisnya.[3]
F.
Jual Beli Yang Terlarang, Tetapi Sah
Ada
beberapa jual beli yang dilarang oleh agama, tetapi sah dilakukan dan orang
yang melakukannya mendapat dosa.
1.
Menemukan
kafilah yang hendak pergi ke pasar untuk membeli barang-barangnya dengan harga
semurah-murahnya sebelum mereka tahu harga pasaran kemudian menjual barang
dengan harga yang setinggi-tingginya. Perbuatan ini menyulitkan orang lain
apalagi bila barang yang dibawa adalah keperluan pokok, seperti bahan makanan,
pakaian, dan lain-lainnya.
2.
Menawar
barang yang sedang ditawar oleh orang lain sebelum ada ketetapan hargannya.
Seseorang berkata kepada pedagang barang, “tolaklah harga tawarannya itu, aku
akan membeli dengan harga yang lebih mahal.” Hal ini dilarang oleh agama karena
menyakitkan hati orang lain.
3.
Bi
Najasyi, menambah atau melebihi harga, tetapi bukan bermaksud hendak membeli,
melainkan memancing orang lain untuk membeli barang tersebut. Hal ini banyak
kita temui di kalangan para pedagang yang bekerja sama dalam penjualan suatu
barang. Perbuatan ini dilarang karena menyakitkan hati pembeli.
4.
Menjual
diatas penjualan orang lain. Seseorang berkata kepada si pembeli,”kembalikan
saja barang itu, aku akan menjual barangku dengan harga yang lebih murah.”hal
ini dilarang oleh agama karena menyakitkan hati si penjual.
G.
Berselisih Dalam Jual Beli
Apabila orang
yang berjual beli berselisih dalam suatu barang yang diperjualbelikan, bila
tak ada saksi dan keterangan lainnya, yang dibenarkan ialah kata-kata pemilik
barang. Hadis Rasululloh SAW, menyatakan:
عَنْ
عَبْدِ اللّهِ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّ اللّهُ عَلَيْهِ
وَسلَّمَ قَالَ:إِذَااخْتَلَفَ
الْبَيِعَا
نِ وَلَيْسَ بَيْنَهُمَا بَيِّنَةنمكطٌ فَهُوَمَايَقُوْلُ
رَبُّالسِّلْعَةِش أَوْيَتَتَرَكَاَنِ
Artinya:
“Dari Abudulloh r.a. dari Nabi SAW,
beliau bersabda , “bila dua orang yang berjual beli berselisih dan antara
keduanya tak ada saksi, yang dibenarkan ialah perkataan yang memiliki barang
atau keduanya membatalkan jual beli. (H.R.
Abu Dawud dan Tirmizi)
Dalam
melakukakan jual beli, penjual dan pembeli hendaklah berterus terang dan
mengatakan hal yang benar. Jangan berdusta dan jangan bersumpah dusta sebab
sumpah dan dusta itu menghilangkan berkah dalam jual beli. Dalam hadis
Rasululloh SAW disebutkan:
عَنْ
أَبِى هُرَ يْرَ ةَ رَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّ
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:
اَلْحَلْفُ مَنْفَقَةُ لِلسِّلْعَةِ مَمْحَقَةُ
لِلْبَرَكَةِ.
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW, beliau
bersabda ,”bersumpah itu mempercepat terjualnya barang, tetapi menghilangkan
berkah.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Tujuan
dan bentuk-bentuk jual beli :
Dalam aktivitas jual beli terdapat unsur tolong menolong, di mana
pihak penjual mencari rezeki dan mencari keuntungan dari hasil penjualan
barangnya, sedangkan pembeli terpenuhi kebutuhan hidupnya. Tiap orang
membutuhkan jual beli untuk memenuhi kebutuhan, dan maksud serta keinginannya
sehingga Alloh menghalalkan akad jual beli itu, Al-Quran sendiri telah
mengisyaratkan agar umat manusia hidup dengan berlandaskan tolong-menolong. Untuk
melestarikan tujuan tersebut, maka toleransi atau lapang dada dalam aktivitas
perdagangan dan jual beli ini sangat diperlukan dan ia merupakan perbuatan yang
mendatangkan keberhasilan serta keberkahan usaha. Rasululloh bersabda:
عَنْ
جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّه رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَا لَ:
رَحِمَ
اللَّهُ رَجُلاً سَمْحًا إِذَا بَا عَ وَإِذَا اشْتَرَى وَإِذَا اقْتَضَى.
"Dari
Jabir ibn Abd Alloh r.a. bahwasanya Rasululloh SAW bersabda, "Alloh
mengasihi kepadanorang-orang yang memberikan kemudahan ketika ia menjual dam
membeli serta ketika menagih haknya." (HR. al-Bukhari)
Bentuk-bentuk jual beli dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu:
1.
Pertama
a.
Jual beli yang shahih, jual beli yang telah
memenuhi semua rukun dan syarat.
b.
Jual beli yang tidak shahih, jual beli yang
salah satu atau semua rukunnya tidak terpenuhi.
2.
Kedua
a.
Jual beli umum, yaitu menukar barang dengan
uang.
b.
Jual beli al-sharf atau money changer,
yaitu penukaran uang dengan uang.
c.
Jual beli barter, yaitu menukar barang dengan
barang.
3.
Ketiga
a. Jual beli tawar menawar, yaitu jual beli di
mana pihak penjual tidak memberitahukan modal barang yang dijualnya.
b. Jual beli amanah, yaitu jual beli di mana
penjual memberitahukan harga modal jualannya.
c. Jual beli lelang, yaitu jual beli dengan cara
penjual menawarkan barang dagangannya. Kemudian para pembeli saling menawar
dengan menambah jumblah pembayaran dari pembeli sebelumnya, kemudian si penjual
akan menjual dengan harga tertinggi dari pada pembeli tersebu.
4.
Keempat
a.
Jual beli dengan penyerahan barang dan
pembayarannya secara langsung.
b.
Jual beli dengan pembayaran barang tertunda.[4]
H.
Pengertian Riba
Kata riba berasal dari bahasa Arab, yang secara etimologi berarti al-ziyadah
(tambahan) atau al-nama (tumbuh). Pertambahan di sini bisa
disebabkan oleh faktor intern atau ekstern. Dalam pengertian linguistik, riba
juga berarti tumbuh dan membesar. Adapun menurut istilah teknis, riba berarti
pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Secara istilah
syar’i, menurut A.Hassan, riba adalah suatu tambahan yang diharamkan di dalam
urusan pinjam-meminjam. Menurut jumhur ulama, prinsip utama dalam riba adalah
penambahan, yaitu penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis
riil.[5]
I.
Riba Dalam Perspektif Hadis Nabi
Pembicaraan tentang riba dalam Hadis Nabi juga berkaitan dengan
bentuk-bentuk jual beli tertentu yang dipraktikan pada masa pra–Islam. Dalam
salah satu sabdanya Nabi Muhammad menjelaskan bahwa semua praktik riba pada
masa pra–Islam adalah batal dan tidak berlaku. Hadis–Hadis yang menerangkan tentang riba kebanyakan berkaitan
dengan transaksi jual beli. Misalnya Hadis yang membicarakan tentang riba
berikut
عَنْأَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيٌ
قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذَّهَبُ بِالذَّ هَبِ
وَالْفِضَّةُ
بِالْفِضَّةِ وَالْبِرُّ
بِالْبِرَّ وَالشَّعِيْرُ بِا لشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُبِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ
بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ
فَمَنْ زَادَ أَوِاسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى
الآخِذُ وَالْمُعْطِي فِيْهِ سَوَاءٌ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).
“Diriwayatkan
oleh Abu Said al – Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Emas hendaklah
dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan
tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke
tangan (cash). Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya
ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama – sama salah.” (HR.
Muslim)
Demikian pula Hadis yang menjelaskan tentang larangan jual beli
(tukar menukar) barang sejenis seperti emas dengan emas, perak dengan perak,
gandum dengan gandum, tepung dengan tepung yang harus dilakukan dengan jumlah
atau kadar yang sama. Rasullullah bersabda:
عَنْ عَبْد الرَّحْمَنِ بْنُ
أَبِي بَكْرَةَ قَالَ : قَالَ أَبُو بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى
الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
لاَ تَبِيعُوا الذَّ هَبَ بِالذَّ هَبِ إِلاَّ سَوَاءً بِسَوَاءٍ وَالْفِضَّةَ
بِالْفِضَةِ إِلاَّ
سَوَءً بِسَوَاءٍ وَبِيعُوا
الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ وَالْفِضَّةَبِالذَّ هَبِ كَيْفَ شِئْتُمْ (رَوَاهُ الْبُخَارِىُ).
“Dari ‘Abd al – Rahman ibn Abi Bakrah, katanya: Abu Bakrah r.a.
berkata: Rasulullah SAW bersabda: “ Jangan kalian jual beli emas dengan emas
kecuali yang sama – sama, perak dengan perak kecuali yang sama – sama. Dan jual
belilah emas dengan perak atau perak dengan emas sesuai dengan keinginan
kalian.” (HR. al - Bukhari)
Hadis di atas menjelaskan bahwa jual beli dengan barang yang
sejenis seperti emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum,
kurma dengan kurma harus dilakukan dengan
ukuran, takaran dan timbangan yang sama. Jika jual beli (tukar–menukar)
itu dilakukan dengan ukuran dan timbangan yang berbeda, maka termasuk kategori
riba, kecuali objek yang diperjualbelikan berbeda, misalnya emas dengan perak,
emas dengan gandum, kurma dengan gandum, maka diperbolehkan dengan ukuran dan
timbangan yang berbeda. Karena itu,
tidak boleh jual beli satu dirham dengan dua dirham dan satu dinar dengan dua
dinar, sebagaimana sabda Nabi:
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لا تَبِيْعُوا
الدِّينَارَ بِالدِّينَا
رَيْنَ وَلاَ الدِّرْهَمَ
بِالدِّرْهَمَيْنِ (رَوَاهُ مُسْلِمٌ).
“Dari ‘Utsman ibn ‘Affan bahwasanya Rasulullah SAW bersabda,
“Janganlah kalian berjual beli satu dinar dengan dua dinar dan satu dirham
dengan dua dirham.” (HR. Muslim)
Apabila salah satu sifat barang yang diperjualbelikan berubah,
misalnya warnanya kusam karena lama tidak terjual dan yang lainnya masih segar,
maka jual beli dengan ukuran yang berbeda diperbolehkan. Rasulullah bersabda:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : التَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَا لْحِنْطَةُ
بِالْحِنْطَةِ
وَالشَّعِيرُ بِا لشَّعِيرِ وَالْمِلْحُ
بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ
أَرْبَى إِلاَّ مَا
اخْتَلَفَتْ أَلْوَانُهُ (رَوَاهُ
مُسْلِمٌ).
“Dari Abu Hurayrah, katanya: Rasulullah SAW bersabda, “Jual beli
kurma dengan kurma, biji gandum dengan biji gandum, tepung dengan tepung, garam
dengan garam harus sama dan langsung serah terima. Barangsiapa yang menambah
atau meminta tambahan, maka ia melakukan
riba kecuali yang warnanya berbeda.”[6]
J.
Jenis-Jenis Riba
Secara garis besar, riba dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu
riba utang-piutang dan riba jual beli. Riba utang-piutang terbagi dua, yaitu
riba qardh dan riba jahiliyyah. Adapun riba jual beli terbagi
menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah. Riba qardh adalah
suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan terhadap yang
berhutang. Misalnya, seseorang yang berhutang seratus ribu rupiah diharuskan
membayar kembali seratus sepuluh ribu rupiah, maka tambahan sepuluh ribu rupiah
adalah riba qardh. Larangan riba ini
berdasar firman Allah dalam surah ar-Rum ayat 39 :
وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّبًا
لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُوعِندَ اللَّهِ وَمَا آتَبْتُم
مِّن زَكَا ةٍ تُرِيدُونَ
وَجْهَ اللَّهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ
الْمُضْعِفُونَ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan
agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk
mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang
melipat gandakan (pahalanya)”.
Riba jahiliyyah adalah utang yang
dibayar lebih dari pokoknya kerena peminjam tidak mampu membayar utangnya ada waktu yang ditentukan,
disebut juga riba yad. Biasanya jika peminjam tidak mampu membayar pada
waktu yang ditentukan, maka bunganya akan bertambah dan bertambah sejalan
dengan waktu tunggakan. Dasar larangan
riba kategori ini antara lain firman Allah dalam surah Ali ‘Imran ayat
130 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوْا
لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَ.
“Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba,
dengan berlipat ganda, dan bertawakalah kamu
kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
Riba Fadhl adalah pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau
takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam
jenis barang ribawi. Riba kategori ini
dilarang berdasar Hadis Nabi di atas, yaitu:
عَنْ
عَبْد الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ : قَالَ أَبُو بَكْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :
لاَتَبِيعُوا الذَّ هَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ سَوَاءً بِسَوَاءٍ وَالْفِظَّةَ
بِالْفِضَّةِ إِلاَّ سَوَاءً بِسَوَاءٍ وَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالْفِضَّةِ
وَالْفِضَّةَ بِالذَّهَبَ كَيْفَ شِئْتُمْ
(رَوَاهُ الْبُخَا رِىُ).
“Dari ‘Abd al-Rahman ibn Abi Bakrah, katanya: Abu Bakrah r.a
berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Jangan kalian juak emas dengan emas kecuali
yang sama-sama, perak dengan perak kecuali yang sama-sama. Dan jual belilah
emas dan perak atau perak dengan emas sesuai dengan keinginan kalian.” (HR.
al - Bukhari)
عَنْ مَالِكِ بْنِ أَوْسٍ سَمِحَ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : الْبُرُّ
بِالْبُرِّ رَبًا إِلاَّ هَاءَ
وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رَبًا إِلاَّ هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ
بِالتَّمْرِ رِبًا إِلاَّ هَاءَوَهَاءَ
(رَوَاهُ الْبُخَارِىُ)
“Dari Malik ibn Aus, ia mendengar ‘Umar RA dari Nabi SAW ia
bersabda, “Jual beli gandum dengan gandum adalah riba kecuali sama-sama, tepung dengan tepung
adalah riba kecuali sama-sama, dan kurma dengan
kurma adalah riba kecuali sama-sama”. (HR.
al - Bukhari)
Riba nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis
barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam
nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara yang
diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. Dikatakan nasi’ah karena
orang yang berutang dapat dikatakan memaafkan penundaan bayaran utang tersebut
dengan ganti rugi tambahan atas modalnya. Larangan riba nasi’ah didasarkan pada
Hadis Nabi:
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَتَبِيعُوا
الذَّهَبَ
بالذَّهَبَ وَلاَ الْوَرِقَ
بِالْوَرِقِ إِلاَّ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ (رَوَاهُ
مُسْلِمٌ)
“Dari
Abu Sa’id al-Khudzri bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Jangan kalian jual
beli emas dengan emas dan uang dengan uang kecuali dengan timbangan dan jenis
yang sama.” (HR. Muslim).[7]
[1] Ahmad wardi, fiqh
muamalat (jakarta: amzali,2015), 173-174
[2] Ahmad ward, fiqh muamalat, 186-187.
[3] Ibnu mas’ud
dan zainal abidin, fiqih (bandung : CV pustaka setia, 2007), 33-39.
[4] Ibnu mas’ud
dan zainal abidin, fiqih, 47-48.
[5] Indri, HADIS
EKONOMI (Jakarta : prenamedia group,2015), 181.
[6] Indri, HADIS
EKONOMI, 186-191.
[7] Indri, HADIS
EKONOMI, 192-195.
Komentar
Posting Komentar